Kampung Katai

#LOOCALISM : 1st WRITING EVENT
. Tidak ada hubungan dengan plot
. ⚠️ Nama, cerita, tempat jika memiliki sebuah kesamaan itu tidak disengaja.⚠️

                               ♫ ♫ ♫ 

Pameran seni yang aku tunggu sudah bisa dihadiri. Aku melangkah lebih dalam, mencari suasana yang tentram. Lukisan berjaga di tepi. Aura mereka berkeliaran, seperti mengikat para khalayak. 

Sebuah lukisan berjudul Kampung Katai menjadi sasaran pertama yang aku amati. Kampung yang konon katanya melahirkan banyak lukisan dari para pelukis hebat. Dan orang yang lahir di kampung tersebut merupakan salah satu pelukis idaman, Ruby. Bahkan Ruby sendiri yang menggambarkan kampungnya.

Kebetulan, Ruby sedang berada di luar. Apakah ini kesempatanku untuk mengobrol? Aku mendekatinya. Dia seperti kelelahan. “Halo, Kak Ruby! Boleh kita berbincang? Tapi, sepertinya Anda kelelahan,” ucapku yang sebenarnya sangat berharap. Ruby menatapku terkejut, kemudian ia mengangguk ramah. 

Beberapa hari kemudian, lukisan indah itu berhasil mengundang aku bertopang di sini. Kampung Katai definisi dari kampung mandiri yang bersumber dari jiwa-jiwa mati untuk lebih bersinar. Sangat menakjubkan. 

Masuk menyikat belantara yang tiada tara. Rumah-rumah bergaya tradisional menepi rapi memucat. Langit kelabu tidak membiru. Aku tidak yakin ada orang yang tinggal lagi di sini. Tepat di sana, seseorang tersenyum padaku. Si Pelukis Darah adalah julukan yang tersemat pada nama Ruby. Pemilik rambut panjang berwarna merah darah menjadi titik pusat orang mengenalnya. Aku bertanya, "kenapa rambutmu seperti merah darah yang alami?" Dia menjawab, "memang asli dari darah." Sangat menarik.

Ruby menuntunku untuk masuk ke dalam pondoknya yang ada di penjuru kampung. Cuaca dingin yang menyengat, dibuat jaket lebih erat. Aku berjalan masuk, tapi tiba-tiba sebuah kain menutup mataku. "Aku ingin memberi tamuku kejutan,” jelas Ruby.

Aku meraba sesuatu di samping, sebentar ... Ini dinding? Aku usap hingga sesuatu yang tidak aneh tak sengaja aku sentuh. "Kanvas?" gumamku pelan. Jantung berdetak dashyat, keringat mencuat, tanganku gemetar hebat. Ruby menuntunku hingga ruang tengah. Tuhan, mengapa perasaanku tidak enak?

Sepasang tangan membuka kain yang tertutup. Ruangan ini diterangi beberapa obor yang berjajar rapi dengan jarak yang jauh. Lukisan-lukisan berderet di setiap ruas dinding bak mengawasi aku. Di depan sana terdapat cermin besar yang retak. Bisa aku lihat bayangan remang yang ikut ketakutan. Seseorang di belakangku, itu Ruby! 

“Tempat ini indah, bukan?” tanya Ruby dengan suara yang rendah tapi dingin. Membuatku bergidik. Tangannya menyentuh, meraba, kemudian membelenggu leher. Tiupan angin dari mulutnya menyapu permukaan kulit. Ruby tertawa, kemudian menutup kedua mataku. “Buat cerita dengan susunan lukisan-lukisan itu. Sudah lama aku menunggu seseorang melakukannya. Kau tahu? Tidak masalah bukan membagi rasa sakitnya kepada orang lain?” katanya dengan suara parau nan lirih. Tangannya melepaskan aku. 

Aku bernapas cepat seakan aku tidak bisa bernapas lagi. Aku ingin pulang seakan aku akan mati di sini. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa dikeluarkan. Ini menyiksaku. Tak lupa doa kepada Tuhan agar selalu melindungi aku.

Tiba-tiba suara jam menggelegar ruangan. Suara tetesan air terdengar di ujung ruangan. “Buat cerita dari lukisan itu sekarang, sebelum tetesan darah itu berhenti!” perintah Ruby. Bukan ... Ini seperti suara wanita tua. Aku penasaran sekaligus takut. 

Narasi berdasarkan gambar. Lukisan-lukisan itu sangat menyeramkan. Seorang anak laki-laki tanpa mata adalah duta dari setiap gambar.

Lukisan ke-1: Bendera kuning di sebuah rumah dan anak itu terdiam di pintu.

Lukisan ke-2: Seorang pria dewasa pergi dan anak itu menatap sedih tanpa mata.

Lukisan ke-3: Anak itu dikepung masa.

Lukisan ke-4: Anak laki-laki yang berhadapan dengan ... Iblis?

Lukisan ke-5: Terakhir lukisan manusia terdampar sakit dengan jiwa yang melayang sedangkan anak itu menatapnya. 

Mataku perih karena mengepung air mata yang tidak bisa keluar. Emosiku ingin menggema, tapi sesuatu menahannya. Aku tersiksa oleh perasaan sendiri. Ruby bersiul sembari memainkan kuas yang siap menghias. Sesekali dia melirik padaku, kemudian mengubah haluan pandangan kepada kanvasnya lagi. Dia melukisku, entah sejak kapan.

“Mana suaramu?” Aku menelan ludah karena tegurannya. “A-anak itu ditinggal ibunya ... Sedangkan si ayah pergi,” ucapku dengan terbata-bata. Terus memperhatikan kisah tersirat dari mereka. Ruby memberikan tatapan pisau yang menembus mata. Menyuruhku untuk melanjutkan kata. “Dia ti-tidak disukai warga,” lanjutku.

“Ternyata begitu.” Ruby berjalan kepadaku. Wajah cantik dibuatnya mangsa bergidik. Menarik kursi untuk aku duduki. Ruby mengambil salah satu kuas. Mendekatkan ke mataku untuk aku lihat. Itu bukan kuas, tapi kumpulan duri. “Lanjutkan, jika kau salah bicara jangan menangis nanti, ya?” 

Aku tidak paham dengan lukisan ke-4 dan lukisan ke-5. Bertemu iblis dan melayangnya jiwa warga. Fokusku tergoyahkan ketika Ruby memainkan rambutku dengan dia yang bersenandung. “Pernah dengar balas dendam tidak sengaja selama hidupmu?” Aku menggeleng, kemudian fokus kembali menatap dinding untuk memecahkan narasi.  

Iblis itu berwarna merah, anak itu tidak ketakutan. Darah di ujung ruangan semakin lambat menetes. Bahkan darah itu berasal dari atap, aku tidak tahu berapa kapasitas yang dimilikinya. “Ternyata, anak itu berteman de-dengan iblis.” Aku rasakan sentuhan di rambutku menghilang. Tapi, tergantikan dengan sayatan duri tajam di bahuku. Aku tidak bisa berteriak, aku tidak bisa mengeluarkan perasaanku. “Kamu salah,” ujarnya. 

“Pernah mendengar tentang mata cerminan hati selama hidupmu?” Kali ini, aku mengangguk. Pura-pura mengetahui karena sejujurnya aku tidak paham kemana arah pembicaraannya. Ruby berjalan menjauh, membawa lukisannya ke pintu di ujung timur. “Balas dendam dan mata. Pasti ada hubungannya.” Aku menatap kembali lukisan-lukisan di ruangan Ruby, terutama lukisan ke-4 dan ke-5. “Dikepung masa ... Bertemu iblis ... Balas dendam kepada warga?” gumamku abstrak.

Di ruangan itu, terdengar jelas suara jantungku bahkan aku bisa mendengar bahwa darah itu akan berhenti terjun. Lima ... Empat ... Tiga ... Dua ... Satu. Darah itu berhenti karena lelah. Terdengar suara langkah yang mendekat. Aku yakin dengan jawabanku sekarang. “Anak itu bertemu dengan iblis. Tanpa sadar, matanya jadi ... Membunuh banyak orang,” jawabku walau suara langkah itu kian jelas di telinga. 

Suara tepukan tangan menggema di segala penjuru. Aku masih tidak sanggup menengok ke belakang. Tapi, Ruby memberikan sebuah lukisan lewat belakang. Tangan yang sedang bergetar, bukan halangan untuk aku mengangkat lukisan tersebut. 

Semuanya berhenti. Aku tercengang melihat lukisan anak laki-laki itu berubah menjadi wanita cantik berambut tirai merah yang panjang. Kini mata bercelak nanar sudah menghias wajahnya. Jadi, ini semua kesimpulan cerita yang tersembunyi. Tiba-tiba Ruby menyentuh pundakku. Menekan luka sayatan tadi yang berada di bahu. Menyejajarkan wajah dengan telingaku untuk memberitakan sesuatu. “Kamu telat,” bisiknya.

Ruby memutar tubuhku sehingga mata kami saling menyapa. Dapat aku lihat mata indah berwarna merah bak intan. Berkilauan untuk menyembunyikan rasa lara terkubur di sana. Detik kemudian yang terjadi napasku sesak dalam satu tarikan dan semua berakhir gelap. 

-

Aku membuka mata, meneliti tempat ini. Beberapa orang berlalu lalang sambil melihat ke arah dinding. Ternyata aku masih di pameran dan tertidur di kursi. Sekiranya itu kesimpulan yang masuk akal. Perihal tentang Kampung Katai sepertinya hanya sekedar mimpi. Baiklah, lupakan semua itu. 

Lebih baik aku lanjutkan melihat lukisan-lukisan yang tertera di dinding. Aku ingin mencari kembali lukisan Kampung Katai oleh Ruby. Saat aku berjalan, sebuah lukisan membuatku terhenti begitu saja. Lukisan yang menusuk harapan bahwa aku selamat. Terpampang jelas di sana lukisanku sedang terduduk dan wanita berambut merah sedang memegang kedua pundakku. Di bawah sana terdapat sebuah tanda tangan pelukisnya. Mengukir sebuah nama, Ruby. 

Aku berlari keluar pameran. Perasaanku tidak karuan. Mengacak rambut frustasi yang membuat beberapa helai berjatuhan. Tunggu ... Aku menarik rambut ke depan. Sejak kapan rambutku bewarna merah? 

“Halo, Kak Ruby! Boleh kita berbincang? Tapi, sepertinya Anda kelelahan.” Seseorang berbicara di belakang. Aku meliriknya. Sebuah tamparan keras di hatiku terasakan. Seseorang familiar sedang tersenyum padaku. Iya, diriku sendiri. 


Postingan populer dari blog ini

✧ Lima Bintang: Awalan

✧ Lima Bintang: 12. Sisa Perasaan (END)