✧ Lima Bintang: 4. Kisah di Saung
⎙ 。
#SEMILIRDIKSI 〻
"Iya, karena sifatku ini aku dikeluarkan dari klub tenis. Aku jadi ingin minta maaf sama Semil," ujar Cacha setelah bercerita latar belakang yang membuat dia bisa sampai di Bandung. "Belajar memaafkan and love yourself first," kata Puwan.
Di bawah teduhan saung di tepi lapangan, mereka berkisah hangat. Kardus sudah basah, terkena tikaman air hujan. Tapi, Juna tidak masalah dengan itu, ia lebih asik memberikan kata-kata semangat kepada Cacha. Shashi juga tidak kalah memberi hiburan kepada Cacha.
"Jaki!" Shashi berteriak ketika melihat Jaki yang dipayungi Semil menuju saung dengan kursi rodanya. Mereka masih bisa merasakan aura permusuhan di antara Cacha dan Semil. "Ini, Semil mau minta maaf." Seketika Semil mendorong Jaki yang sedang proses menarik diri untuk masuk lebih dalam. Jaki hanya tertawa melihat Semil salah tingkah begitu.
"Cacha juga," ucap Juna yang dihadiahi cubitan. "Hidup itu tidak berat, yang berat gengsi manusia," kata Jaki setelah menemukan posisi duduk yang pas.
Tanpa ucapan maaf, mereka sudah bisa memaafkan satu sama lain dengan tawaan. "Maneh juga waktu itu kena bola tenis pas dilempar ke pohon!" Semuanya tertawa ketika Semil bercerita masa lalu Cacha saat pertama kali ke Bandung. Juga dibalas dengan Cacha yang berteriak di suara hujan, "siapa yang waktu itu mau bayarin makan di warteg. Tapi, gak bawa duit, hah?!"
Setelah candaan yang keluar, kini mereka mengobrol masing-masing. Seperti Cacha yang sibuk berbicara dengan Puwan perihal Jakarta. Juna dan Semil yang sedang berbicara tentang festival layangan. Jaki menyempatkan diri berbicara dengan Shashi, dengan sebuah dompet yang ia perlihatkan. "Ini apa?"
Wajah Shashi seketika berubah pucat. Tangannya bergetar mengambil dompet temuan Jaki di dapur Semil. "Awalnya aku kira itu uang tabungan kita. Tapi ... Kenapa isinya obat?" Semuanya terdiam setelah sayup-sayup mendengar pertanyaan Jaki kepada Shashi. Semua atensi beralih kepada mereka.
Shashi mengambil dompet dengan pucat di muka. "O-obat apa? Aku gak punya obat," katanya dengan senyum yang meyakinkan. Cacha yang duduk bersebelahan dengan Shashi segera menarik dompet itu juga dikeluarkan dari tempat. Juna mengambil salah satu bungkus obat. "Obat penahan rasa sakit?"
"Shashi, kamu sakit apa?" tanya Puwan. Shashi menangis, meninggalkan suara isakan yang bercampur suara hujan. Cacha memeluk, memberikan kekuatan kepada si Anak Emas Matematika.
"Ma-maafin aku ... Se-lama ini a-aku sakit." Semua terkejut karena kabar itu. Bahkan Juna sudah mengeluarkan setetes air mata. Jaki mengepalkan tangan kuat, membuat kuku-kukunya berwarna putih.
"Dan hidupku ... Tidak la-lama lagi," katanya yang disusuli sebuah senyuman. Senyuman paling pahit yang Shashi rasakan selama hidupnya. Membuat suara isakan keluar dari teman-teman seperjuangan. "Kalian kenapa nangis?" Shashi menghapus jejak air matanya. Memberikan senyum kembali agar mereka semangat. "Ja-jangan senyum. Itu sakit ...." Cacha semakin memeluk erat Shashi. Emosi ia luapkan.
"Karena penawar paling hebat itu adalah senyuman," kata Shashi yang mengakhiri hujan itu.
Bersambung ....
─────────────────
─ Saung: Semacam gazebo.
─ And love yourself first: Dan cintai dirimu dulu.
─────────────────
Merinda Puwanhyf Haruan, 2020