✧ Lima Bintang: 10. Lari, Luka
⎙ 。
#SEMILIRDIKSI 〻
Ayah mengukir wajah tidak suka. Ia ingin cepat-cepat pulang, membawa Puwan ke Bern secepatnya. Apa anak perempuan itu tidak rindu dengan keluarga di sana? Sepertinya jika tidak dijemput, Puwan tidak akan pulang. "Please, give me a chance." Mohonnya. Tapi, Ayah tetaplah dirinya. Keras kepala melebihi batu.
"Cepat masuk ke dalam mobil!" Padahal angin selalu menyapa mereka, cuaca juga masih pagi. Kenapa atmosfer yang dirasa Puwan sangat panas bersama Ayah kandungnya sendiri? Semalam Puwan bersama yang lainnya sudah ada rencana pertemuan kembali dengan Shashi. Sekalian berpamitan dengan Jaki yang sudah pasti hari ini akan pergi kepada keluarganya. Ya, teman-temannya belum tahu bahwa sekarang Puwan juga akan pergi.
Setelah semua sudah siap, Ayah masuk ke dalam mobil. Puwan berhenti sejenak, kamera dari Tante Caryn tertinggal. "Wait." Ia berlari ke rumah, memgambil kamera yang tertinggal. Ketika ia berjalan menuju mobil. Terlihat dua orang yang tidak asing menunggu di gerbang. Mereka melambai memberikan kode ke sebuah tangan. Puwan menatap mobil, kemudian menatap mereka. Sebelum berlari dengan cepat ke luar.
"Hei!" Teriakan tegas itu tidak membuat mereka berhenti berlari. Ayah ikut mengejar Puwan, Cacha, dan Juna. Sengaja mereka melewati gang-gang kecil. Walau sesekali banyak orang lewat. Jalan yang sedang dibangun. Dan Juna yang terjatuh. "Lututmu berdarah." Cacha meniup luka Juna walau tidak tahu apa pengaruhnya. "Kita diam dulu?" tanya Puwan. Dengan tegas Juna menolak. Mereka sudah setengah jalan. Sangat disayangkan harus berhenti di sana. Walau mereka yakin Ayah Puwan sudah tidak mengejar lagi. Tapi, sebentar lagi mereka akan sampai di jalan raya.
"Cepat, berhentiin angkotnya!" seru Cacha melihat sebuah mobil angkot di sana. Ketika itu juga, sebuah mobil keluar dari jalan yang mereka lewat. "My Dad!" Bertepatan itu, angkot berhenti di depan mereka. Tanpa banyak lama, semuanya ikut naik. Menghindar dari mobil Ayah Puwan.
Akhirnya setelah perjalanan tadi. Mereka bisa istirahat sejenak. Nafas seperti bergelut. Keringat sebagai tanda bahwa mereka serius. Cacha malah tersenyum gembira. Sudah lama ia tidak bertindak selincah tadi. Perlu diakui bahwa Cacha adalah pelari tercepat dari mereka. "Kenapa ada Ayah kamu?" tanya Juna. Karena kejadian ini sangat di luar perkiraan.
Puwan mengatur nafasnya sebentar. Paru-parunya seperti ditusuk oleh angin, ditambah pula pertanyaan mendadak dari Juna. "Maaf, aku tidak cerita kepada kalian," ucapnya. "Hari ini aku akan pulang."
Bersambung ....
Merinda Puwanhyf Haruan, 2020